RAJAM: HUKUM ISLAM ATAU HUKUM KHAS TlMUR TENGAH?
ROH Abdul Rohim telah bersemayam di altar keabadian. Lelaki muslim anggota Laskar Jihad itu meninggal dunia setelah menerima hukuman rajam berdasarkan syariat Islam atas kejahatan perzinahan di wilayah hukum Ambon. Eksekutornya adalah Satuan Tugas Amar Makruf Nahi Munkar, yang berfungsi sebagai semacam polisi, yang dibentuk komunitas muslim di daerah tersebut. Hukuman itu dijatuhkan, kata Ayip Syafruddin, Ketua Forum Ahlussunah Wal Jamaah, atas permintaan dan pengakuan terpidana yang tertulis di atas kertas bermeterai.
Ambon adalah sebuah wilayah di Maluku yang dihuni masyarakat beragam agama, terutama muslim dan Kristen. Sejak tiga tahun lalu, daerah itu dilanda gebalau konflik berbau agama yang berkepanjangan. Komunitas muslim berperang melawan komunitas Kristen. Ribuan orang dari kedua pihak tewas dalam perang saudara itu. Untuk menciptakan tertib sosial, belakangan pemerintah pusat di Jakarta memberlakukan keadaan darurat sipil di Maluku.
Toh, kondisi sosial, menurutAyip, masih balau. ”Aparat penegak hukum di sana sudah lumpuh,” tuturnya. Karena itu, beberapa organisasi masyarakat dan keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia Maluku, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Badan Koordinasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia Wilayah Maluku, bersepakat menerapkan syariat Islam, yang dideklarasikan di Masjid Alfatah, pusat kegiatan Islam di Ambon, pada 8 Januari 2001. Untuk apa? ''Mencegah kerusakan yang lebih besar," kata Ayip.
Persoalannya, Ambon berada di wilayah Republik Indonesia, yang bukan negara Islam. Apakah pelaksanaan rajam itu tidak bertabrakan dengan hukum nasional? ”Rajam itu pelaksanaan ibadah yang mestinya dilindungi oleh negara,” kata Ayip. Memang, Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara menjamin setiap warga negara menjalankan agama dan kepercayaannya.
Jadi, benarkah logika hukum yang dipakai Ayip? Luthfi Assyaukanie, Dosen Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, berpendapat bahwa ada perbedaan bahasa antara syariat Islam dan hukum positif. Dalam perspektif Ayip, pelaksanaan rajam adalah penegakan hukum Islam. Namun, dalam perspektif hukum positif, pelaksanaan rajam itu dianggap melanggar Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan sampai meninggal.
Karena dalam perspektif hukum nasional tidak dibenarkan adanya dua sistem hukum yang berlaku, pelaksanaan rajam itu dinilai bertabrakan dengan hukum nasional. Atas dasar itu, menurut Luthfi, pelaksanaan rajam itu tetaplah salah. ”Selama yang diakui secara konstitusional adalah hukum positif, hukum yang lain tidak sah," kata Luthfi. Dalam arti lain, penerapan syariat Islam di Ambon tidak memiliki dasar konstitusional sama sekali.
Lebih jauh, sebenamya penerapan syariat Islam tidak bisa dilakukan secara harfiah karena sebagian besar praktek hukum di zaman Nabi Muhammad dipengaruhi hukum yang berlaku di Jazirah Arab waktu itu. Misalnya soal hukuman rajam itu. "Rajam itu kan tradisi masyarakat Timur Tengah. Jadi, itu bukan tradisi murni Islam," kata Luthfi. Karena itu, hukum-hukum yang diterapkan Muhammad harus dilihat secara kontekstual dan diambil substansinya Bagaimana sikap Majelis Ulama Indonesia tentang pelaksanaan rajam? Prof. Dr. Din Syamsuddin, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, tak serta-merta bisa menyalahkan pelaksanaan rajam itu. Soalnya, hukuman rajam memang ditentukan dalam Islam, dan karena itu sebagian orang meyakini pelaksanaannya sebagai ibadah. ”Ini menyangkut keyakinan,” kata Din. Atas dasar itu, Din melihat Laskar Jihad tidak bersalah. Apalagi mereka melaksanakan rajam atas dasar permintaan terpidana ”Bila tidak ada permintaan, Laskar Jihad tentu melanggar hukum,” kata Din.
Sumber : TEMPO, 20 MEI 2001
Tidak ada komentar:
Posting Komentar