Sabtu, 24 November 2012

SYARIAT VS HUKUM SEKULER


RAJAM: HUKUM ISLAM ATAU HUKUM KHAS TlMUR TENGAH? 













     ROH Abdul Rohim telah bersemayam di altar keabadian. Lelaki muslim anggota Laskar Jihad itu meninggal dunia setelah menerima hukuman rajam berdasarkan syariat Islam atas kejahatan perzinahan di wilayah hukum Ambon. Eksekutornya adalah Satuan Tugas Amar Makruf Nahi Munkar, yang berfungsi sebagai semacam polisi, yang dibentuk komunitas muslim di daerah tersebut. Hukuman itu dijatuhkan, kata Ayip Syafruddin, Ketua Forum Ahlussunah Wal Jamaah, atas permintaan dan pengakuan terpidana yang tertulis di atas kertas bermeterai.
     Ambon adalah sebuah wilayah di Maluku yang dihuni masyarakat beragam agama, terutama muslim dan Kristen. Sejak tiga tahun lalu, daerah itu dilanda gebalau konflik berbau agama yang berkepanjangan. Komunitas muslim berperang melawan komunitas Kris­ten. Ribuan orang dari kedua pihak tewas da­lam perang saudara itu. Untuk menciptakan ter­tib sosial, belakangan pemerintah pusat di Ja­karta memberlakukan keadaan darurat sipil di Maluku.
    Toh, kondisi sosial, menurutAyip, masih ba­lau. ”Aparat penegak hukum di sana sudah lumpuh,” tuturnya. Karena itu, beberapa organisasi masyarakat dan keagamaan, seperti Majelis Ulama Indonesia Maluku, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Badan Koordi­nasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia Wi­layah Maluku, bersepakat menerapkan syariat Islam, yang dideklarasikan di Masjid Alfatah, pusat kegiatan Islam di Ambon, pada 8 Januari 2001. Untuk apa? ''Mencegah kerusakan yang lebih besar," kata Ayip.
     Persoalannya, Ambon berada di wilayah Re­publik Indonesia, yang bukan negara Islam. Apakah pelaksanaan rajam itu tidak bertabrak­an dengan hukum nasional? ”Rajam itu pelak­sanaan ibadah yang mestinya dilindungi oleh negara,” kata Ayip. Memang, Pasal 29 Un­dang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara menjamin setiap warga negara menja­lankan agama dan kepercayaannya.
   Jadi, benarkah logika hukum yang dipakai Ayip? Luthfi Assyaukanie, Dosen Universitas Paramadina Mulya di Jakarta, berpendapat bahwa ada perbedaan bahasa antara syariat Islam dan hukum positif. Dalam perspektif Ayip, pelaksanaan rajam adalah penegakan hukum Islam. Namun, dalam perspektif hukum positif, pelaksanaan rajam itu dianggap melanggar Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penganiayaan sampai meninggal.
    Karena dalam perspektif hukum nasional tidak dibenarkan adanya dua sistem hukum yang berlaku, pelaksanaan rajam itu dinilai bertabrakan dengan hukum nasional. Atas dasar itu, menurut Luthfi, pelaksanaan rajam itu tetaplah salah. ”Selama yang diakui secara konstitusional adalah hukum positif, hukum yang lain tidak sah," kata Luthfi. Dalam arti lain, penerapan syariat Islam di Ambon tidak memiliki dasar konstitusional sama sekali.
    Lebih jauh, sebenamya penerapan syariat Is­lam tidak bisa dilakukan secara harfiah karena sebagian besar praktek hukum di zaman Nabi Muhammad dipengaruhi hukum yang berlaku di Jazirah Arab waktu itu. Misalnya soal hu­kuman rajam itu. "Rajam itu kan tradisi ma­syarakat Timur Tengah. Jadi, itu bukan tradisi murni Islam," kata Luthfi. Karena itu, hukum-­hukum yang diterapkan Muhammad harus dilihat secara kontekstual dan diambil substansinya Bagaimana sikap Majelis Ulama Indonesia tentang pelaksanaan rajam? Prof. Dr. Din Syamsuddin, Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia, tak serta-merta bisa menyalahkan pelaksanaan rajam itu. Soalnya, hukuman rajam memang ditentukan dalam Islam, dan karena itu sebagian orang meyakini pelaksa­naannya sebagai ibadah. ”Ini menyangkut keyakinan,” kata Din. Atas dasar itu, Din melihat Laskar Jihad tidak bersalah. Apalagi mereka melaksanakan rajam atas dasar permin­taan terpidana ”Bila tidak ada permintaan, Las­kar Jihad tentu melanggar hukum,” kata Din.

Sumber : TEMPO, 20 MEI 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar