Ahmad Sahal*)
PERISTIWANYA
terjadi beberapa tahun setelah Nabi wafat, saat Umar menjabat sebagai khalifah
kedua. Ketika itu tentara Islam berhasil merebut tanah pertanian yang
membentang dari Suriah, Irak, Persia, sampai Mesir. Berdasarkan ketentuan
Al-Quran surah Al-Anfal 41, semestinya prajurit yang ikut berperang mendapat
empat perlima dari jarahan (ghanimah),
sedangkan yang seperlima masuk kas negara untuk kemaslahatan umat. Ketentuan
ini dipraktekkan sendiri oleh Nabi ketika membebaskan tanah Khaibar.
Tapi Umar
khawatir, kalau ia mengikuti bunyi harfiah ayat itu, kemaslahatan umat justru
terancam karena, dengan cara begitu, tanah pertanian habis dikapling-kapling
dan tak ada sisa untuk generasi berikutnya. Akhirnya Umar berijtihad: tanah
tidak dibagi-bagi, tapi tetap digarap oleh pemilik asli dengan syarat membayar kharaj (pajak). Status tanah itu menjadi
milik negara. Dengan kata lain, ijtihad Umar meninggalkan arti harfiah surah
Al-Anfal 41.
Waktu itu Umar
ditentang keras oleh sahabat Nabi yang lain, seperti Bilal, Abdurrahman bin
Auf, dan Zubair bin Awwam. Ia dinilai berani melanggar ketentuan ayat yang
begitu gamblang (nash sharih). Umar
juga dianggap meninggalkan Sunnah Nabi di Khaibar. Kecaman Bilal terhadap Umar
begitu kerasnya sampai-sampai dengan nada sedih Umar berdoa, "Ya Allah,
lindungilah aku dari Bilal dan kawan-kawannya." Tapi Umar tetap bertahan.
Akhirnya pendapatnyalah yang menang.
Dalam riwayat
Umar, tafsir dengan meninggalkan bunyi harfiah ayat tidak terjadi satu kali itu saja. Pernah sebelumnya Umar
tidak memotong tangan pencuri onta yang tertangkap, sesuai dengan perintah
surah Al-Maidah 38, karena pencurian itu atas desakan perut dalam situasi
paceklik parah.
Kisah tafsir
Umar itu sesungguhnya bukan hal baru di negeri ini. Namun, kisah itu sekarang
penting untuk diangkat lagi ketika muncul klaim yang gencar bahwa, untuk
menjadi muslim yang baik, orang harus menjadi tekstualis: tunduk sepenuhnya
pada nash, atau teks Al-Quran dan
Sunnah.
Pandangan
semacam ini datang dari kalangan muslim yang menyerukan revivalisme Islam
dengan pengertian kembali kepada kemurnian doktrin Islam yang sudah dianggap
selesai, tunggal, dan sempurna di abad ke-7.
Dalam sejarah
kebangkitan Islam, revivalisme biasanya dilekatkan pada gerakan Wahhabi di
Saudi Arabia. Tapi, dalam konteks saat ini, kita bisa menemukan sosoknya pada
pelbagai gerakan Islam yang tidak jarang punya strategi yang berbeda-beda, mulai
dari yang anti demokrasi dan modernitas seperti Taliban sampai yang menerima
prosedur demokrasi seperti FIS, Al-Ikhwan, atau Partai Keadilan. Dari yang
anti-Barat seperti Jihad Islam di Mesir atau Al-Qaidah di mana-mana, sampai
yang berteman mesra dengan Amerika seperti Saudi Arabia. Sedangkan di
Indonesia, contoh yang mewakili tren ini adalah gerakan penerapan syariah
sebagai hukum positif.
Sikap tunduk
sepenuhnya pada nash ini bertolak
dari asumsi bahwa Al-Quran adalah sesuatu yang ta’abbudi (harus ditaati begitu saja) karena secara verbatim
berasal dari Allah. Untuk memahaminya kita harus memakai pendekatan yang
literal, atau berdasarkan hadis Nabi, yang notabene merupakan bagian dari nash juga. Penafsiran rasional yang
menyimpang dari bunyi harfiah niscaya tidak diterima di sini.
Ada dua
implikasi dari pandangan yang serba nash
ini. Pertama, Islam bersifat total karena mengatur baik kehidupan privat maupun
publik. Semua sudah ada ketentuannya dalam Al-Quran. Juga sudah ada rincian
teknisnya dalam hadis. Islam bersifat total karena nash berlaku total.
Kedua, nash
bersifat abadi, tunggal, dan mengatasi sejarah, ruang dan waktu. Karena itu,
tidak mungkin ada banyak Islam meskipun umat Islam hidup dalam beragam konteks.
Lebih jauh, latar belakang dunia Arab yang merupakan konteks tempat Nabi hidup
dianggap sama abadi dan universalnya dengan Islam. Akibatnya kemurnian Islam
disamakan dengan ekspresi Arab dalam Islam. Unsur lokal non-Arab yang mewarnai
Islam akan mudah dituding sebagai penyimpangan.
Tekstualisme
semacam itulah yang diklaim sebagai satu-satunya wajah Islam. Padahal, dengan
mengacu pada tafsir Umar di atas. kita bisa melihat bahwa kembali kepada
Al-Quran dan Sunnah ternyata tidak serta-merta identik dengan tekstualisme yang
literal. Memang ada model seperti Bilal, yang cenderung harfiah, tapi ada juga
wajah lain dalam Islam, yakni model Umar bin Khattab, yang sama sekali
nonliteral. Dalam literatur fiqh,
tafsir Umar dianggap sebagai milestone
bagi berkembangnya model Islam yang memprioritaskan penalaran rasional dalam
menafsirkan Al-Quran, yang seringkali disebut aliran atau madrasah ra'yu.
Meskipun tokoh
terpenting dalam bidang fiqh adalah lmam
Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, sepanjang sejarah IsIam aliran ra'yu tampil dengan beragam ekspresi dan
tidak hanya berurusan dengan fiqh
semata. Mulai dari filosof Ibn Rusyd, yang percaya bahwa akal pada hakikatnya
kompatibel dengan nash, sampai Muhammad
Abduh, yang pernah mengatakan dalam kitabnya, Risalah al-Tauhid,"Jika wahyu kelihatannya bertentangan dengan
akal, wajib bagi akal meyakini bahwa yang dimaksud bukanlah arti harfiah".
Asumsi aliran ra’yu: nash adalah sesuatu yang ta’aqquli (mesti didekati dengan akal).Penalaran
rasional diutamakan karena, setiap kali berhadapan dengan nash, terutama yang menyangkut kehidupan publik, kita dituntut agar
bisa membedakan mana yang merupakan ketentuan yang terkait dengan situasi
historis tertentu dan mana yang merupakan prinsip moralitas universal, seperti
keadilan, persamaan, dan kemaslahatan yang menjadi jiwa dan tujuan dari nash
itu sendiri. Dalam nomenklatur Ushul fiqh,
moralitas universal ini disebut maqashid
al syari’ah (tujuan syariah). Dengan dasar inilah Umar berijtihad. Sepintas
lalu ia meninggalkan Al-Quran, tapi sejatinya ia justru mengamalkannya.
Kalau argumen
aliran ra’yu ini kita teruskan, kita
akan sampai pada satu titik yang merupakan titik berangkat Islam liberal. Titik
yang saya maksud adalah tiga hal. Pertama, nash
tidak mengatur kehidupan secara total karena yang terpenting bukanlah ketentuan
teknis dalam bunyi harfiah nash yang
mencakup seluruh kehidupan, melainkan prinsip moralitas universal yang menjadi maqashid al syariah-nya. Rincian teknis
adalah sesuatu yang situasional, sementara moralitas univeral berlaku abadi.
Kedua,
pandangan ra’yu yang memberi peran
utama pada akal dengan sendirinya akan menghargai kemajemukan manusia karena
konteks historis yang melatarinya juga majemuk. Tafsir kontekstual menjadi penting
di sini, dan ke-Arab-an, yang merupakan k onteks lokal Nabi, tidak diletakkan dalam
posisi yang bisa melintasi ruang dan waktu. Yang menarik, tafsir kontekstual
semacam ini sudah dipraktekkan Abu Hanifah ketika ia, sebagai orang Persia, membolehkan
orang salat membaca Fatihah dalam bahasa Persia atau bahasa lokal lainnya.
Ketiga, nash selalu merupakan nash yang ditafsirkan. Bahkan pemahaman
harfiah pun salah satu bentuk tafsir juga. Dan tafsir selalu bersifat relatif. Kita
tidak bisa mengklaim bahwa makna yang kita petik dari nash yang mutlak dengan sendirinya bernilai mutlak juga, karena toh
ia merupakan produk penafsiran manusia yang juga tidak rnutlak, yang kontingen.
Begitulah, kita tidak bisa mengklaim hanya Islam kita yang benar karena yang
kita yakini sebagai Islam tidak lain adalah tafsir kita tentang Islam. Tidak bisa
lain dari itu. Dan berhubung tafsir itu sendiri beragam, mau tidak mau Islam
iuga akan beragam.
Penerimaan
non-totaliter dan non-literal terhadap nash,
penghargaan terhadap konteks dan "Islam-sebagai-tafsir-atas-Islam";
tiga hal inilah titik tolak pandangan Islam liberal. Sebagai contoh, Islam-
liberal lebih memilih negara sekuler demokratis dan pluralistis dan menampik
negara syariah. Pandangan ini muncul bukan sebagai karbon kopi dari paham Barat,
melainkan berlandaskan suatu keyakinan bahwa negara sekuler yang demokratis dan
pluralistis akan lebih menjamin maqashid
al syariah pada zaman ini ketimbang negara syariah. Dengan kata lain, yang
dipakai adalah jenis ijtihad yang dirintis oleh Umar bin Khattab.
Jelaslah bahwa
Islam liberal punya genealogi yang kukuh dalam Islam karena ia mendapatkan
sumber energinya dari aliran ra'yu. Memang harus diakui itu bukan satu-satunya
wajah Islam. Islam literal yang menafsir secara harfiah juga punya pijakan yang
sama kukuhnya. Bukankah dalam kisah Umar di atas Bilal menampilkan sikap
literal terhadap Al-Quran? Dalam sejarah Islam, kita juga bisa menyebut Imam
Hambali sebagai model terbaik dari tafsir literal. Ini berarti yang literal
ataupun liberal sama-sama anak kandung yang sah dari Islam.
Persoalannya,
kenapa lslam literal mengklaim sebagai satu-satunya wajah Islam. Saya kira ini ada
hubungannya dengan hegemoni tekstualisme yang mencengkeram pola pikir umat selama
berabad-abad. Dan hegemoni selalu ditopang oleh kekuasaan, bukan kebenaran.
Fakta bahwa khazanah Islam menampung baik kubu literal maupun liberal
ditutup-tutupi atau dilupakan. Hasrat yang begitu menggebu untuk kemurnian yang
terkandung dalam tekstualisme juga menyebabkan yang tidak tekstual, yang liberal
dianggap mencemari kemurnian sehingga layak dicap sebagal "di luar
Islam" atau bahkan Bahkan tidak jarang pandangan liberal menjadi korban
pengafiran (takfir) seperti menimpa Nashr
Abu Zaid di Mesir, yang dituduh murtad dan dipaksa cerai dari istrinya
"hanya" karena melakukan kritik historis terhadap Al-Quran.
Problem
pengafiran semacam ini yang saya khawatirkan akan muncul kalau syariah dimaknai
secara literal dan dijadikan sebagai hukum positif. Kenapa? Hukum mengandaikan
masuknya campur tangan negara yang memihak satu wajah Islam dan mengebiri wajah
Islam lain. Bukan hanya pluralisme bangsa yang kemudian akan terluka.
Pluralisme pemikiran dalam Islam, yang menurut Nabi merupakan rahmat bagi umat
Islam, akan ikut menderita. Islam liberal yang sumber energinya dari Umar bin
Khattab, akan jadi korban pertamanya.
*)Peneliti Freedom Institute
Sumber : TEMPO, 7 APRIL 2002 Hal.: 48-49